Walaupun saya masih belum dewasa, tapi saya mulai menyadari beberapa hal.
Alangkah herannya ketika tak hanya aku yang menyadari akan hal ini.
Bermula dari ngobrolin tentang seseorang, sebut saja namanya Paijo.
"Beberapa orang jadi males dengan yang namanya Paijo."
"Iya, yang aku kenal, dia orangnya semakin terlihat keegoisannya."
Kembali saya merefleksikan kalimat itu dalam pribadi saya: jangan-jangan kalau aku lebih bodoh dari Paijo, orang-orang sama sekali tidak respek terhadap saya. Apakah aku terlalu egois sehingga orang-orang membenci saya? Jujur saja, saya juga egois. Dulu orang sempat membenci saya karena saya egois. Semoga keegoisan saya menipis.
"Keegoisannya semakin nampak ketika peristiwa akhir-akhir ini, yaitu kuliah A."
"Yang mana?"
"Masa kamu belum tahu, teman kita si Ayam satu kelompok sama dia. Mereka mendapatkan tugas presentasi mengenai topik B. Ketika pertemuan di awal, dengan tegasnya Paijo bilang bahwa presentasi harus dibagi-bagi. Padahal si Ayam memberi usul agar presentasi dilakukan satu orang saja supaya tetap fokus. Giliran si Paijo tahu bahwa yang maju mendapat nilai tambah, dia langsung mencalonkan diri sebagai presentator tunggal."
"Parah benar."
Memang sih, karena gagasan si Ayam, anggota kelompok itu menjadi agak tidak suka dengan si Ayam. Padahal menurut saya, justru gagasan itulah yang lebih masuk akal. Anggota kelompok yang lain merasa sudah belajar tentang sub-bagian tertentu, dan yang lain juga sudah belajar sub-bagian yang lain. Menurut mereka, itulah hal teradil ketika presentasi. Padahal menurut saya lain: semua anggota kelompok harus menguasai seluruh bahan, tidak terbatas pada sub-bagian tertentu. Hanya saja, siapa yang presentator adalah orang yang paling cocok untuk menyajikannya di depan kelas. Karena tidak semua orang mampu menyajikan apa yang ia pelajari di kelas.
Karena banyak yang katanya "tidak suka" dengan gagasan si Ayam, maka Paijo melayangkan SMS kira-kira bunyinya seperti ini: "[...] Anggota kelompok kita banyak yang . . ke kamu."
Dan untuk membesarkan hati si Ayam, saya dan Babi pun menanggapi: "Oh tenang saja, Yam. Banyak yang lebih . . ke dia."
Secara tidak kita sadari, kita beranjak lebih dewasa. Aku dan Babi terkesan lebih diam daripada saat awal-awal kuliah yang begitu usil dan pencilakan. Teringat waktu dulu, kami berdua selalu saja ribut-ribut sendiri seperti anak kecil. Kini, kami lebih diam seribu bahasa untuk mengkritisi hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Pendewasaan memang tidak bisa diceritakan dengan kata-kata, bagaimana gejala-gejalanya, efek dan akibatnya?
Walaupun demikian, diriku ini masihlah "belum". Itu karena saya tidak bisa membagi emosi saya dengan baik. Saya terkadang masih menunjukkan galau emosi di depan umum. Akan tetapi saya yakin, "Gerbang Kedewasaan" itu menanti di depan dan sudah mulai membukakan pintunya bagi saya.
Sapi
---
Sumber gambar: http://www.cartoonstock.com
0 komentar:
Posting Komentar